Minggu, 06 Desember 2009

Dampak Jurus Naruto

Dampak Jurus Naruto
Oleh : Anjrah Lelono Broto | 29-Nov-2009, 21:04:26 WIB

KabarIndonesia - Beberapa anak berseragam merah-putih yang sedang bergerombol di halaman samping rumah sedikit menyita perhatian saya. Bukan karena anak saya ikut bergabung di sana ataupun aktifitas yang mereka lakukan mengarah ke hal-hal yang negatif. Namun aksesoris yang mereka pakai dan stilistika gerak merekalah yang menggamit hati saya. Mereka memasang sapu tangan di kepala, lengan, dan paha ala Naruto. Mereka pun juga bergaya kekonyol-konyolan dan membodohkan diri sesuai dengan karakter tokoh Naruto dalam film yang sepengetahuan saya memang bodoh.

Pemahaman saya sebagai pendidik menggiring pada kesadaran bahwa tahapan pertama dalam belajar adalah imitatif. Dengan kata lain, beragam materi yang masuk dalam benak seorang anak yang sedang menambah-nambah pengetahuannya (belajar) akan teraktualisasi dalam lakuan peniruan. Dus, materi film yang terserap ke dalam ruang benak anak-anak juga menjadi materi pembelajaran yang menambah pengetahuan dan terimplementasikan dalam bentuk lakuan fisik yang dapat direkam oleh lingkungan di sekitarnya.

Menjadi sedikit ngilu hati ini ketika lakuan fisik budi pekerti seperti salam, tata krama berbicara maupun bersikap, yang seharusnya menjadi konsumsi pembelajaran anak-anak (terutama usia dini) terpinggirkan oleh materi film anak-anak yang kita tahu sendiri berlatar belakang budaya asing. Bisa kita bayangkan andaikata generasi muda kita kelak akan lebih mirip anak-anak negeri Sakura yang bodoh, ataupun anak-anak negeri Paman Sam yang bodoh ketimbang anak-anak Indonesia yang cerdas, terampil, dan tahu tata karma dalam budaya kita.

Dewasa ini, film anak-anak yang mondar-mandir di layar kaca telah mengundang banyak gugatan. Ketua Penelitian dan Pengembangan Lembaga Studi Pers dan Informasi (Lespi), Wisnu Tri Hanggoro, misalnya, menilai, banyak film yang aktornya anak-anak dan film animasi yang ditayangkan di stasiun televisi justru tidak memberikan pendidikan pada anak sebagai penontonnya. Justru banyak film anak yang memperlihatkan unsur kekerasan dan kebencian terhadap sesama, tuturnya dalam Lokakarya “Menonton Televisi Secara Sehat” (11/8/2009). Tri Hanggoro juga menambahkan bahwa acara televisi yang aktornya anak-anak justru banyak yang membodohkan karena selain sering menyajikan hal-hal yang tidak logis, juga mengandung kekerasan, dan kebencian terhadap sesama.

Dipayana dalam bukunya “Nabi Televisi, Malas Belajar dan Belajar Untuk Malas” (2004) mengatakan bahwa tayangan film anak-anak di televisi telah menanamkan paradigma dan perilaku yang sejalan dengan materi tayangan. Bisa disimpulkan bahwa film anak-anak telah memberikan sumbangan besar pada dekadensi moralitas serta terpinggirkannya nilai-nilai pendidikan dari keluarga, sekolah, atau bahkan pendidikan agama. Hal ini tercermin dari mengakarnya pengetahuan tentang film serta imbasnya dalam pembentukan karakter anak ketimbang nasehat, ceramah, dan tausiah.

Gugatan Tri Hanggoro maupun kajian Dipayana di atas, apabila secara jernih kita renungkan, memang ada benarnya, terutama pada film-film animasi. Film animasi merupakan genre film anak-anak yang paling mendominasi dari pada film bertema anak-anak. Apalagi stigma bahwa film animasi adalah film anak-anak menyingkirkan fakta bahwa tidak semua film animasi merupakan konsumsi anak-anak. Bagi yang doyan nge-search anime di internet pastilah memahami bahwa ada film animasi Jepang (manga) yang bergenre blue film (BF) yang kaprah disebut Hentai.

Film animasi, yang mayoritas merupakan produk impor, dalam tayangan televisi senantiasa berlabel SU (Semua Umur) dan masuk dalam kategori sebagai tayangan anak-anak. Parahnya, media menggiring opini orangtua untuk berjamaah mengamini pelabelan tersebut Akibatnya? Sungguh luar biasa. Berkembang toleransi, permisivisme besar, atau asyik-asyik aja… terhadap film-film itu untuk dikonsumsi anak-anak. Bahkan, saya pribadi pernah menjumpai keluarga yang membebaskan anaknya seharian penuh ditemani Cartoon Network melalui layanan Indovision.

Sebelum film animasi Jepang (manga) memiliki ruang perkembangan yang membuat banyak stasiun televisi menggendongnya kemana-mana, Walt Disney menjadi raja diraja film animasi dunia. Pada era tersebut, film animasi tidaklah bisa dikategorikan aman konsumsi bagi anak-anak kita. Coba kita kenang Mickey dan Minni, Donald dan Daisy, ataupun Goofie. Coba kita renungkan, sudah waktunyakah anak-anak kita yang belum akil baligh menikmati tayangan cerita bertema percintaan, plus dengan trik-trik menarik perhatian lawan jenis, merebut pacar, adegan percintaan seperti ciuman, mengirim surat dan bunga yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut?

Film animasi produk Jepang pun senantiasa membubuhkan tema percintaan, kendati cuma tema sampingan. Mulai dari Sailor Moon yang identik dengan rok mini dan mottonya “Dengan Kekuatan Cinta Akan Menghukumnu!”, Dragon Ball, Detektif Conan, hingga Naruto. Jika kita tengok merebaknya kasus-kasus pedofilia yang dilakukan abg-abg, bukan tak mungkin diilhami oleh tokoh Jiraiya (Petapa Nakal) dalam Film Naruto yang hobby mengintip orang mandi. Bisa jadi perilaku negatif tokoh ini menjadi inspirasi dan berkembang tanpa terdeteksi karena mendapat asupan gizi buruk dari media televisi. Inspirasi ini kemudian meledak saat perkembangan usia memasuki masa pubertas sehingga gadis-gadis ingusan pun menjadi pelampiasan.

Berarti, film animasi juga memberikan dukungan penuh pada percepatan pertumbuhan libido pada anak-anak. Benarkah itu?

Selain tema-tema percintaan plus-plus, ada bumbu penyedap lain yang senantiasa hadir dalam jalinan cerita film-film animasi, yakni kekerasan. Kekerasan menjadi primadona dalam beragam tema film animasi. Bahkan dalam film animasi seperti Barbie, ataupun Tom & Jerry, kekerasan masih hadir dalam kemasan romantisme ataupun humor. Bisa jadi kita tidak putus-putus tertawa menyaksikan Tom yang ngeyel mengejar-ngejar Jerry namun tawa tersebut akan hilang tatkala menyaksikan anak-anak kita menirukan trik-trik mereka untuk menjatuhkan satu sama lain yang cenderung sadis.

Bahkan dalam film-film animasi yang murni bertema kekerasan seperti, Dragon Ball, Inuyasha, Samurai X, dan Naruto. Sadar atau tidak, pemirsa disuguhi pesan eksistensi seseorang semata bisa dibangun dengan menjadi yang terkuat (dalam hal fisik dan kekuasaan). Pemirsa yang notabene anak-anak dipaksa meyakini bahwa eksistensi mereka dapat dibangun dengan mengalahkan orang lain, seperti halnya Son Goku, Inuyasha, Naruto, dan Batosai Si Pembantai Padahal, eksistensi seorang manusia idealnya dibangun dengan menarik simpati dan kesan positif pada publik. Tentu saja hal ini sangat bertolak belakang dengan filosofi budaya masyarakat Indonesia (Jawa) yang mengajarkan untuk ‘sugih tanpa bandha’ (kaya tanpa kekayaan), ‘digdaya tanpa aji’ (perkasa tanpa ilmu tertentu), dan ‘menang tanpa ngasorake’ (menang tanpa harus mengalahkan).

Mari kita tengok bersama rentetan aksi-aksi kejahatan yang berbau kekerasan, aksi main hakim sendiri, tawuran antar mahasiswa/pelajar, anarkisme kelompok yang bermotif agama, ataupun bentrok antarwarga, besar kemungkinan merupakan efek negatif doktrinasi nilai-nilai kekerasan tayangan-tayangan film animasi. Mungkin sekali untuk dinilai terlalu menjustifikasi, mengingat banyaknya faktor penyebab lain seperti tingkat pendidikan, karakter demografi, menggejalanya krisis kepercayaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apabila secara jujur kita renungkan, maka film animasi adalah satu faktor penyebab tumbuhnya paradigma kekerasan yang menjangkiti masyarakat kita dewasa ini.

Tidak ada paradigma maupun pola perilaku yang mendadak lahir tanpa proses panjang. Paradigma maupun pola perilaku berkembang dari proses transfer nilai yang kompleks dan multidimensi. Namun, satu hal yang menuntut untuk kita dasari bersama adalah fakta bahwa tayangan film-film animasi memiliki efek yang luar biasa dalam pembangunan paradigma, karakter, maupun pola perilaku pada diri seorang anak. Lakuan fisik seperti stilistika perilaku maupun pemakaian aksesoris yang meniru karakter dalam film animasi menjadi penanda bahwa proses transfer nilai tengah berlangsung. Nilai-nilai yang diterima memang tidak muncul secara tiba-tiba, namun pasti melalui proses perjalanan yang mungkin sekali memakan waktu. Sayangnya, penanda-penanda kecil yang menjadi cerminan proses transfer acap kali luput dari perhatian kita.

Suatu misal, ketika mendapati anak kita menjadi agresif. Kita terkadang hanya menilai bahwa anak tersebut nakal dan menuntut tindakan represif tanpa upaya menelusuri latar belakang agresifitas anak tersebut. Padahal, setiap hari film animasi telah mengambil peran guru dan mengajarkan banyak hal kepada anak kita tanpa kita sadari. Anak kita telah akrab dengan pukul ataupun jebakan ala Tom & Jerry. Anak kita telah dekat dengan sabetan pedang hitten mitsurugi Kenshin Himura. Anak kita telah mengenal romantika pacaran dari Sailor Moon. Bahkan, anak kita telah belajar mengalahkan teman-temannya seperti halnya Naruto, Sasuke, dan Sakura. Kita tak sadar bahwa tontonan adalah tuntunan. Mungkin terlihat bahwa anak-anak kita hanya bersantai menjadi penonton. Namun, marilah kita sadari bahwa anak-anak kita juga sedang belajar (di bawah bimbingan Guru Film Animasi).

Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua?

Bukanlah sebuah masalah yang besar dan sulit kita lakukan andaikata kita melakukan pengurangan jam tonton, pemilah-milahan judul yang layak tonton, serta pendampingan pada saat menonton. Tetapi, yang cenderung rumit adalah teknik penyampaian yang kita gunakan. Anak kita bisa diberikan pengertian plus tawaran yang lebih menarik, untuk tidak hanya menonton film animasi. Teknik represif menjadi pilihan paling akhir, satu dua sanksi kita berikan apabila anak-anak kita menunjukkan keengganan.

Kita memang tidak boleh total melarang anak-anak kita menjadi penikmat film animasi. Akan tetapi, dari sekian banyak film animasi yang ditayangkan oleh stasiun televisi ada juga yang memberikan efek negatif apabila tidak disertai pendampingan dan pengertian dari orang tua. (*)


*) Litbang LEMBAGA BACA TULIS INDONESIA, Tinggal di Jombang.


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar